Mata Andin (3)

Banyak orang tidak suka membiarkannya.setiap orang yang melintas pasti bertanya.untung saja sekarang siang hari.bayangkan kalau andin duduk disitu sore atau pagi hari.rumah andin hanya selisih empat rumah dari jalan besar,jadi semua yang mau pergi atau pulang pasti lewat depan rumah.ada tante eni yang jogging dengan rambut sasak tinggi.om soni yang beli rokok di warung sebelah tapi baru pulang mendekati maghrib.pak soleh dengan seragam hansipnya.mbak tina yang mau nunggu jemputan kantor.anton main sepeda.semua.semua pasti bertanya.padahal tidak bertanyapun andin tidak akan menganggap mereka sombong.

aku kan tidak pernah ingin tahu apa yang sedang atau mau mereka kerjakan.

andin terpaksa mengulang lagi.memejamkan mata dan membukanya.

kini andin ingin bermain dengan bayang-bayangan daun jambu yang jatuh di pangkuan.bayang-bayang bergerak seirama ayunan daun yang dihembus angin.bayangan dipangkuannya membentuk sebuah pintu.andin menggeleng kepala.ia tidak mau.di dada seperti ada pohon tumbang.menghimpit.sesak.



andin mengalihkan mata pada noktah rembesan hujan di tembok dekat jendela.biasanya dari bercak rwmbesan itu,akan muncul jalan raya,setapak,atau lereng gunung.kemudian ia asyik membayangkan pelesiran ke tempat yang ia ciptakan sendiri.tapi sekarang bercak itu membentuk sebuah pintu.andin tak suka.ia menoleh pada retakan kulit kayu di batang pohon jambu.pada liang undur-undur.pada karat pagar besi.semuanya membentuk satu.pintu.

andin menyerah.dia tahu aturan mainnya.setiap cerita harus selesai untuk bisa pindah ke cerita lain.

baiklah.pintu...

andin memejamkan mata.

waktunya sore hari.bukan di tengah musim hujan.bukan jga musim yang panasnya kelewatan.musim biasa saja.andin di muka pintu itu.pintu terbuka sedikit.
andin mendengar suara dari ruang depan.suara memanggil namanya.

"iya,bu."
andin memiringkan badan waktu melewati daun pintu dan kusen.dia tidak ingin pintu itu bergeser walau sedepa hanya.di ruang tamu yang sudah kosong,ibunya duduk selonjor.telepon tergeletak di jok kursi.satu kursi rotan pemberian bibi yang tersisa.kabel telepon meliliti kaki kursi.

kelopak mata ibu bengkak.mata itu semakin terlihat kecil.pinggiran mata ibu di kerubuti kerutan-kerutan halus.kerutan seperti retakan dekat liang paku di dinding.keringat ibu mengalir pelipis.

"andin,"suara ibu serak dan retak.
"ya..."
"tolong telepon 7777777"
"ya.."
"jangan salah.tujuh kali angka 7.ibu dari tadi nuggu.tapi enggak ada telepon balik.mana telepon kita enggak bisa lagi di pakai keluar...kamu telepon lewat wartel."
"andin bilang apa?"
"heemm..bilang sama orang di sana,ibu jadi mau jual.terserah.mereka mau ambil sendiri ke sini atau diantar.tapi baiknya suruh mereka ke sini.soalnya alamat mereka jauh."
andin diam.
"eh iya,din.kalau mereka ngomong harga,bilang ibu minta naik lima ratus ribu dari yang tadi.tapi,tapi kalau enggak di kasih,terima saja tawaran mereka.tapi ingat,din,kamu jangan kelihatan butuh.jaman sekarang orang butuh bukannya di kasihani malah di ludahi.andin....kamu masih di situ?"
"ya,bu."
"jangan lupa..."
"ya?"
"jangan lupa kamu bilang.punya ibu masih bagus.ginjal ibu masih..."

andin merapatkan pelupuk.demikian kuat.sekarang,siang merayap tepat di puncak

****************************************************************************
sebelumnya: Mata Andin (1)
                   Mata Andin (2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar